Email Hosting

Buletin Jum'at Rumah Qur'an Mas'ud Silalahi, Oleh Dr. H. Ansari Yamamah MA


MMO | MATA MEDIA ONLINE -

TAFSIR AL-WASI’ ISLAM TRANSITIF: Alquran Sebagai Kitab Inspirasi Keilmuan, Bukan Hanya Petunjuk Ibadah

Alquran Sebagai Petunjuk
Sebagai hudan linnas (petunjuk bagi manusia) Alquran al-Karim tidak hanya berisi petunjuk norma, akan tetapi juga petunjuk nilai dalam berbagai jenisnya baik dalam bentuk idealis maupun dalam bentuk empiris. Oleh karena itu, ayat-ayat Alquran mengandung berbagai makna yang sangat luas yang meliputi berbagai aspek dan dimensi kehidupan umat manusia, sehingga tidak heran jika Alquran juga disebut sebagai kitab yang kompleks yang mengandung ide-ide dan nilai-nilai universal, dan dengan keuniversalitasannya itulah maka Alquran senantiasa akan tetap sesuai dengan perkembangan kehidupan umat manusia, tanpa pernah tersekat oleh ruang (tempat) dan waktu (zaman).

Dengan demikian umat Islam sebagai pemengang sah kitab suci Alquran harus mampu menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup dalam membangun peradaban dunia, dan dalam hal ini perlu direnungkan sebuah analogi dari Abdullah Darraz yang menggambarkan dengan sangat baik bahwa ayat-ayat Alquran itu bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari satu sudut ke sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandang dari sudut lainnya, maka bisa saja dia akan melihat lebih banyak dari apa yang kita lihat.

Sebagai kitab petunjuk, Alquran menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, dan oleh karena itu tentu saja masalah pertama yang akan muncul bagi non-Arab ketika memahaminya adalah persoalan Bahasa. Dengan demikian maka ilmu kebahasaan menjadi sangat penting sebagai syarat pertama untuk memahami isi dan kandungan Alquran, disamping penggunaan ilmu-ilmu lain baik sebagai metode ataupun sebagai pendekatan penafsiran. Tentu saja ini bukan persolan yang mudah.

Oleh karena itu, para ahli ilmu tafsir (mufassirin) sangat berhati-hati di dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran tersebut demi menjaga banyak hal, termasuk menghindarkan berbagai kesalahan dan kekeliruan di dalam menangkap makna dan maksud ayat-ayat Alquran, agar pesan-pesannya dapat difahami dan direalisasikan dalam berbagai dimensi kehidupan sebagaimana yang telah ditulis di berbagai kitab tafsir sejak masa klasik hingga kontemporer, dan tentu saja kitab-kitab tafsir diharapkan akan terus muncul di masa-masa mendatang karena tafsir, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, tidak boleh final dan tidak boleh menjadi sakral.

Tafsir Bukanlah Sesuatu Yang Sakral
Satu hal yang perlu difahami bahwa tafsir merupakan entitas yang berbeda dengan Alquran sebab Alquran bersifat mutlak, sedangkan tafsir bersifat relatif. Oleh karena itu upaya-upaya yang telah ada dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran bukanlah pencapaian batas akhir, sebab tafsir adalah hasil interpretasi dan pemikiran mufasir terhadap ayat-ayat Alquran yang tentu saja bersifat baharu dan tidak dapat dilepaskan dari berbagai konteks, situasi dan kondisi serta latar belakang sosio kultural dan sosio akademik seorang mufassir ketika ia memproduksi tafsirnya. Sebagai konsekwensinya adalah bahwa sebuah hasil penafsiran menjadi sangat terbuka untuk dikaji dan dikritisi kembali.

Akan tetapi persoalan sekarang adalah adanya kecenderungan di kalangan para akademisi, dan para ulama sekalipun, untuk memperkuat otoritarianisasi kitab-kitab tafsir yang telah ada, seperti kitab-kitab tafsir yang banyak digunakan di Indonesia yaituTafsir Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu Kastir, Tafsir at-Thabari, Tafsir Jalalain, Tafsir Zamakhsyari, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Mishbah, dan lain-lain. Upaya otoritarianisasi untuk kembali secara total kepada kitab-kitab tafsir terdahulu sepertinya telah dan akan terus menjadimomok stagnasi umat selama para akademisi dan para ulama tidak mau berfikir untuk perkembangan tafsir. Walaupun upaya-upaya tafsir telah dilakukan oleh para mufassir kontemporer, namun terlihat masih saja merupakan pengulangan-pengulangan pendapat para mufassir terdahulu, dan ini seperinya akan terus berkepanjangan baik di dunia akademik maupun halaqah-halaqah keagamaan.

Pemaksaan atau otoritarianisasi untuk menggunakan kitab-kitab tafsir terdahulu, terlebih lagi kitab-kitab tafsir yang diformulasi pada masa atau Zaman Klasik (650 – 1250 M) dan pada masa atau Abad Pertengahan (1250 – 1800 M) tentu saja akan memberikan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya kepada umat dan perkembangan kemajuanannya, disamping ada juga hal-hal yang positif namun itu sangat kecil.

Salah satu akibat negatif dari otoritarianisasi tersebut adalah mengakibatkan umat Islam terperangkap dan membatasi diri dalam model pemahaman theological dimension dan legal-formal tafsir yang cenderung menegaskan bahwa apa yang telah ditulis oleh para ulama (mufassir) terdahulu adalah dianggap yang paling benar sehingga berakibat pada ketertutupan terhadap adanya pluralitas dalam pemahaman tafsir.

Oleh karena itu tidak heran jika umat Islam lebih mengutamakan dimensi teologis dan hukum dibanding dimensi lainnya karena banyak ditulis di dalam kitab-kitab tafsir tersebut bahwa kehadiran manusia di bumi ini hanya untuk dua dimensi yaitu dimensi keyakinan sekaligus penyerahan diri kepada Allah SWT (submissive theological dimension) dan dimensi kepatuhan hukum (obedience legal dimension) yang dalam hal ini dipersempit dengan sebutan pengabdian (ibadah).

Sadar atau tidak, otoritarianisasi kitab-kitab tafsir terdahulu dengan balutan kedua dimensi tersebut akan mengakibatkan umat tidak hanya terperangkap dalam klaim-klaim kebenaran sepihak, akan tetapi juga menafikan adanya pluralitas teologi dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan juga yang sangat berbahaya adalah umat melupakan adanya fitrah kompetisi pluralitas sebagai jalan untuk menuju kemenangan itu sendiri, baik kemenangan di dunia maupun kemenangan di akhirat.

Untuk menghindarkan sekaligus mengatasi umat dari ketertinggalannnya maka tidak ada jalan lain, melainkan tafsir harus terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah agenda akademik kontemporer, walaupun, sebagaimana yang disebutkan oleh Zuhairi Misrawi bahwa, agenda tersebut mempunyai kerumitan. Bagaimana tidak, persolaan yang dihadapi hari ini sungguh sangat kompleks jika dibandingkan dengan persoalan pada masa-masa terdahulu.

Hari ini duniadengan berbagai perkembangan sains dan teknologi telah membawa berbagai kemajuan peradaban, akan tetapi juga pada saat yang sama menghadap berbagai persoalan yang cukup pelik, seperti dampak alat-alat komukasi virtual, sampah teknologi (lingkungan), wabah, seperti virus corona, dan sebagainya, yang pada masa lalu belum menjadi sesuatu yang serius. Disinilah perlunya upaya menyambungkan khazanah tafsir di masa lalu dengan kenyataan terkini untuk menemukan agendanya, termasuk dalam hal mengkolaborasikan berbagai disiplin ilmu (transdisciplinary) sebagai salah satu upaya pengayaan khazanah Alquran, demi untuk menemukan solusi-solusi baru.

Disinilah diperlukan kehadiran model tafsir baru yang lebih terbuka dan lebih luas meliputi berbagai dimensi kandungan Alquran sehingga diharapkan nilai-nilai petunjuknya dapat dieksplorasi secara maksimal, tidak hanya dalam konteks teologi, hukum dan tasawuf, tetapi juga sekaligus sosial budaya, sains dan teknologi karena sesungguhnya alquran itu mengandung berbagai jenis keilmuan. Untuk menjawab sekaligus memberikan tawaran penafsiran baru dengan model perluasan makna agar sampai pada temuan, penciptaan, dan innovasi baru, maka Tafsir al-Wasi’ dengan menggunakan lima pendekatan keilmuan dan sebelas metode yang ditawarkannya hadir menjadi salah satu alternatif untuk memecah kebekuan tafsir yang telah ada.

Penutup
Satu hal penting yang patut menjadi pertimbangan terkait upaya-upaya memunculkan tafsir-tafsir baru sebagaimana yang disebutkan oleh Ziauddin Sardar adalah bahwa Alquran merupakan teks yang bersifat terbuka bagi semua orang dan secara keseluruhan seseorang tidak butuh syarat apapun untuk mengkaji (menafsirkan) Alquran. Juga tidak diperlukan izin dari seorang ulama, atau pemilik otoritas dalam ilmu khusus.

Lebih jauh dia mengatakan bahwa hambatan (persyaratan) yang diciptakan para ulama tradisional menjadi persoalan yang paling serius yang dihadapi umat Islam saat ini dan pada masa mendatang tentunya. Syarat-syarat itu mematikan peluang umat Islam yang peduli, berfikir, dan berdedikasi untuk terlibat dalam perdebatan penting terhadap ayat-ayat Alquran.

Persyaratan itu sudah melumpuhkan sistem pendidikan Islam sehingga lembaga pendidikan melahirkan ulama yang berfikiran sempit yang tidak punya pengetahuan tentang kompleksitas masalah dizaman moderen. Para ulama yang berpengang teguh pada pendapat usang sebenarnya berada pada kapsul agama dan budaya yang tersumbat sehingga mereka hanya mengungkapkan slogan yang usang. Mengikuti ajaran elit semacam itu menutup kemungkinan untuk berubah, maju dan berkembang. Tentu saja menjadi tantangan besar umat Islam kontemporer untuk membebaskan diri dari gengaman dan dominasi para ulama/mufassirin terdahulu. Semoga bermanfaat bagi perdaban umat manusia.

Subscribe to receive free email updates: